Indeks

Kelas Rusuh Bukan Takdir, Tapi Tanda bahaya Manajemen yang Lengah

Oleh : Fadhlin Amalia Fhatri (2301411547), Dwita Juniati (2301411551), Ahmad Risman (2301411513), Reysa Azzahra Putri (2301411557)

BabelMendunia.com, Suasana kelas yang kondusif adalah dambaan setiap guru dan peserta didik. Sayangnya, realita di lapangan tidak selalu seindah yang diharapkan. Tidak sedikit guru yang menghadapi tantangan besar dalam menjaga ketenangan dan fokus siswa di kelas. Banyak yang kemudian beranggapan bahwa kondisi ini adalah hal biasa, bahkan “takdir” di dunia pendidikan. Namun, benarkah kelas yang gaduh dan tidak terkontrol adalah sesuatu yang harus diterima begitu saja? Pandangan tersebut keliru. Kelas yang kacau bukanlah suatu keniscayaan, melainkan tanda adanya masalah dalam manajemen kelas. Guru sebagai pemimpin di ruang kelas, memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan iklim belajar yang sehat, aman, dan efektif.

Di era Kurikulum Merdeka yang menuntut kemandirian, kreativitas, dan kolaborasi, peran manajemen kelas semakin krusial. Tanpa manajemen yang tepat, potensi peserta didik akan terhambat dan tujuan pembelajaran sulit tercapai. Ketika siswa berisik, saling bicara saat guru -mengajar, atau tidak fokus pada tugas, sebagian orang akan berkata: “Namanya juga anak-anak.” Namun jika ini terjadi terus- menerus, apakah benar kita hanya perlu memaklumi? Sebenarnya, kelas yang rusuh adalah sinyal yang menunjukkan lemahnya manajemen kelas. Ini bukan soal guru kurang galak, tapi kurang strategi. Dalam konteks Kurikulum Merdeka yang menekankan kebebasan belajar dan diferensiasi, manajemen kelas menjadi aspek yang sangat krusial. Tanpanya, semangat pembelajaran yang merdeka akan berubah menjadi pembiaran tanpa arah.

Bahwasanya ada beberapa cara mengurangi masalah dan menawarkan Solusi:

a. Manajemen Kelas Bukan Hanya Mengatur DudukBanyak guru, terutama yang masih baru mengajar, mengira bahwa mengatur kelas cukup dengan menyusun tempat duduk, mencatat kehadiran siswa, atau memberi peringatan kepada siswa yang ribut. Namun, pemahaman ini terlalu sempit. Manajemen kelas yang sesungguhnya jauh lebih kompleks dan mencakup berbagai aspek psikologis, sosial, dan teknis yang saling berkaitan.

Manajemen kelas yang efektif adalah keterampilan menyeluruh yang mencakup: Perencanaan aturan yang jelas dan disepakati bersama. Pengendalian emosi dan kesabaran menghadapi siswa yang beragam karakternya. Komunikasi dua arah yang positif, terbuka, dan asertif. Pembangunan budaya kelas yang saling menghargai, bertanggung jawab, dan penuh partisipasi. Contoh yang sering terjadi adalah guru yang mengganti posisi tempat duduk setiap minggu untuk menghindari siswa saling bicara. Tetapi jika guru tidak melengkapi rotasi itu dengan aturan komunikasi dan tata tertib kerja kelompok, maka perpindahan tempat duduk tidak akan mengurangi keributan. Siswa tetap akan ngobrol, bercanda, atau tidak fokus karena merasa tidak ada batasan perilaku yang jelas.

Jadi, mengatur tempat duduk hanyalah satu bagian kecil dari manajemen kelas. Tanpa pendekatan yang menyeluruh, guru hanya akan memadamkan api sesaat tanpa memadamkan sumber apinya.

b. Ketidakkonsistenan Guru adalah Celah Kekacauan Salah satu kesalahan paling fatal dalam pengelolaan kelas adalah ketidak konsistenan guru dalam menegakkan aturan. Guru yang hari ini bersikap tegas, namun esoknya membiarkan pelanggaran tanpa teguran, sedang menciptakan ketidakpastian yang membingungkan siswa. Bagi anak-anak, terutama di tingkat SD dan SMP, konsistensi adalah bentuk keamanan. Ketika aturan berubah-ubah atau ditegakkan secara tidak adil, siswa mulai kehilangan kepercayaan terhadap guru. Mereka tidak lagi menganggap aturan sebagai pedoman, melainkan sebagai hal yang bisa ditawar-tawar atau bahkan diabaikan.

Misalnya:

1. 2. 3. Hari Senin, guru melarang keras siswa makan di kelas. Hari Selasa, guru melihat siswa makan tapi hanya diam. Hari Rabu, guru tiba-tiba memarahi siswa yang makan sambil berkata, “Kan sudah saya larang!” Situasi seperti itu memunculkan kesan bahwa aturan hanya berlaku bagi yang tidak disukai atau pada waktu-waktu tertentu. Akibatnya, kelas menjadi kacaubukan karena siswa tidak bisa diatur, tetapi karena guru menciptakan celah ketidakjelasan.

Solusinya adalah:

1. Tegakkan aturan secara adil dan konsisten.

2. Komunikasikan ulang aturan secara berkala.

3. Jadilah teladan dalam menjalankan aturan tersebut

c. Tidak Semua Gangguan Harus Dihadapi dengan Teguran

Guru sering kali secara spontan menegur siswa saat mulai gaduh, tidak memperhatikan, atau mengganggu temannya. Meskipun ini tampak wajar, pendekatan seperti ini justru dapat menciptakan jarak emosional antara guru dan siswa. Terlalu sering menegur akan membuat siswa merasa tertekan, merasa disalahkan terus-menerus, dan kehilangan semangat untuk belajar. Yang dibutuhkan adalah pendekatan proaktif:

1. Guru memahami latar belakang dan karakter setiap siswa.

2. Guru mengajak siswa membangun aturan bersama, bukan hanya memberlakukan aturan sepihak.

3. Guru memberikan perhatian positif pada siswa yang menunjukkan perilaku baik (bukan hanya fokus pada yang melanggar).

4. Salah satu strategi efektif adalah “kontrak belajar bersama”. Ini adalah kegiatan di mana guru dan siswa menyepakati secara tertulis:

1. Apa saja aturan di kelas?

2. Apa sanksi jika melanggar?

3. Apa bentuk penghargaan jika patuh?

Kontrak ini bisa ditempel di dinding kelas, dibacakan ulang setiap minggu, atau dijadikan bahan refleksi. Karena siswa terlibat dalam pembuatannya, mereka lebih merasa bertanggung jawab untuk mematuhinya.

d. Teknologi Bisa Menjadi Solusi, Bukan Ancaman Di era digital saat ini, banyak guru merasa bahwa gadget, media sosial, atau game online adalah gangguan utama dalam kelas. Padahal, jika guru mampu menggunakan teknologi sebagai alat bantu, maka justru ia bisa menjadi solusi jangka panjang bagi manajemen kelas yang lebih efektif dan menarik.Contoh pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan kelas:

1. Kuis interaktif dengan aplikasi seperti Kahoot atau Quizizz membuat siswa antusias, berkompetisi sehat, dan tetap fokus.

2. Video pembelajaran di YouTube atau Canva Edu bisa menjadi media visual yang memperjelas konsep.

3. Aplikasi ClassDojo memungkinkan guru memberi “bintang” atau “poin” atas perilaku baik siswa, yang bisa dilihat langsung oleh orang tua.

4. 3Timer digital dan background music lo-fi saat kerja kelompok dapat membantu menjaga ritme dan konsentrasi.

5. Teknologi bukan musuh, tetapi alat. Yang dibutuhkan adalah kreativitas guru dalam memilih dan mengintegrasikan teknologi yang sesuai dengan karakteristik siswa dan tujuan pembelajaran.

Kericuhan dalam kelas bukanlah sesuatu yang harus diterima atau dibiarkan. Ia adalah sinyal kuat bahwa ada sesuatu yang perlu dibenahi—baik dari segi pendekatan guru, sistem yang diterapkan, maupun dukungan lingkungan sekolah. Manajemen kelas bukan sekadar keterampilan teknis, tapi refleksi dari kesiapan guru dalam menjadi pemimpin yang tangguh, adil, dan bijaksana. Sudah saatnya kita menghentikan narasi “kelas rusuh adalah hal biasa”. Sebaliknya, mari ubah perspektif: jika kelas gaduh, maka ada peran guru dan sekolah yang harus ditingkatkan. Melalui pelatihan, refleksi, dan kolaborasi antar pendidik, kita bisa mewujudkan kelas yang aktif tanpa gaduh, dinamis tanpa chaos.Kelas yang gaduh tidak terjadi begitu saja. Ia adalah tanda bahwa sistem, pendekatan, dan perencanaan harus dibenahi. Guru perlu diberi pelatihan berkelanjutan tentang manajemen kelas, bukan hanya soal metode mengajar.

Mengelola kelas adalah seni dan keterampilan yang bisa dipelajari. Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik kalimat “anak zaman sekarang susah diatur.” Justru inilah saatnya guru zaman sekarang punya keterampilan mengatur dengan lebih cerdas dan manusiawi.

Exit mobile version