Indeks

Cubitan Guru: Batas Disiplin atau Tindakan Kekerasan? Oleh: Ratri Kusumadita

Babel Mendunia.Com- Peristiwa seorang guru memberikan hukuman fisik kepada murid, seperti cubitan, masih kerap terjadi di lingkungan pendidikan kita. Belakangan ini maraknya tindakan ini menjadi topik hangat di dunia pendidikan. Berbagai kasus guru ditindak pidana karena kerap melakukan beberapa tindakan kekerasan terhadap siswa. Sejauh ini Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat terdapat 15 kasus kekerasan di satuan pendidikan selama Januari hingga Juli 2024. Kasus-kasus tersebut adalah kategori berat dan ditangani oleh pihak kepolisian.Berdasarkan data dari 15 kasus tersebut, mayoritas kekerasan terjadi di jenjang pendidikan SMP/MTs (40%), disusul SD/MI (33,33%), SMA (13,33%) dan SMK ( 13,33%). Dari data ini, 80% sekolah yang memiliki kasus merupakan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek dan 20% terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama (Kemenag).

Tindakan ini seringkali dibenarkan dengan dalih mendidik atau menjaga disiplin. Namun, seberapa jauh batas antara disiplin dan kekerasan dalam konteks pendidikan? Apakah cubitan masih dapat dijustifikasi sebagai bagian dari proses pembelajaran?. Banyak yang beranggapan bahwa hukuman fisik merupakan tradisi dalam pendidikan yang sudah berlangsung lama. Argumen ini seringkali dikaitkan dengan nilai-nilai ketimuran yang menekankan pentingnya kedisiplinan. Beberapa orangtua dan guru percaya bahwa hukuman fisik dapat menjadi cara yang efektif untuk membuat anak jera dan tidak mengulangi kesalahan. Hal ini tentunya berdasarkan pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain. Bentuk hukuman kekerasan dinilai terbukti efektif dalam memberikan efek jera namun tanpa disadari hal ini justru dianggap sebuah kejahatan dan tidak layak untuk diterapkan.

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

Hukuman fisik merupakan bentuk kekerasan yang melanggar hak asasi anak untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan. Hal ini sudah diatur dalam Undang Undang Kekerasan terhadap anak (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya dalam Pasal 76C, Pasal 54, dan Pasal 59 Ayat 2 huruf i: Pasal 76C mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap anak, termasuk menempatkan, membiarkan, menyuruh, atau turut serta melakukan kekerasan. Pasal 54 mengatur bahwa anak wajib dilindungi dari kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya di lingkungan satuan pendidikan. Pasal 59 Ayat 2 huruf i mengatur perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan fisik atau psikis, seperti penanganan cepat, pendampingan psikologis, dan bantuan sosial. Pelaku kekerasan terhadap anak dapat dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta. Jika kekerasan mengakibatkan luka berat, hukumannya dapat mencapai 5 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp100 juta. Selain UU Nomor 35 Tahun 2014, perlindungan anak juga diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT.

DAMPAK PSIKOLOGIS

Hukuman fisik dapat menimbulkan trauma psikologis pada anak, seperti rasa takut, rendah diri, dan bahkan kebencian terhadap sekolah. Dampak yang ditimbulkan dari sekecil apapun bentuk kekerasan tidak menutup kemungkinan akan memberikan rasa trauma dan dibawa hingga anak dewasa kelak. Anak-anak belajar melalui contoh. Jika guru menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mendidik, maka anak-anak akan meniru perilaku tersebut dan menganggap kekerasan sebagai cara yang sah untuk menyelesaikan masalah. Jika hal -hal kecil yang selalu di sepelekan ini tidak segera di hentikan bisa saja memeberikan rasa dendam yang malah akan berakibat fatal. Dalam mengatasi hal tersebut, terdapat banyak metode disiplin positif yang lebih efektif dan bermartabat, seperti dialog, pemberian konsekuensi logis, dan penguatan perilaku positif yang bisakita jadikan alternatif sebagai pengganti kekerasan sekaligus penguatan karakter anak. Dengan mencontohkan penyelesaian masalah yang baik, maka anak juga akan meniru contoh tersebut dan akan di terapkan hingga anak dewasa kelak. Sehingga secara tidak langsung kita perlahan-lahan mengurangi angka kekerasan dalam dunia pendidikan.

SOLUSI ATAS PERMASALAHAN INI

memasuki perkembangan zaman yang semakin maju, kita perlu menyesuaikan diri dan juga termasuk meyikapi tindak kekerasan dengan seksama. Perlu ditekankan bahwa setiap anak memiliki hak dan kewajibannya termasuk hak perlindungan anak yang kini semakin di perhatikan oleh khalayak masyarakat Indonesia. Para orangtua menjadi semakin selektif dan protektif dalam hal pendidikan dan anaknya.dengan begitu pentingnya menjaga hubungan baik antara guru dan wali murid dengan begitu justru akan membangun Kerjasama yang positif dan bersama-sama mendidik anak dengan baik tanpa ada rasa khawatir akan kekerasan yang dialami anak di sekolah. Perlu kita sadari bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk karakter anak, bukan hanya memberikan pengetahuan. Hukuman fisik justru dapat merusak karakter anak dan menghambat perkembangan emosional mereka. Sebagai gantinya, guru perlu membangun hubungan yang positif dengan siswa, menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman, serta memberikan bimbingan yang tepat. Cubitan bukanlah bentuk disiplin yang tepat. Tindakan kekerasan, sekecil apapun, tidak dapat dibenarkan dalam konteks pendidikan. Kita perlu mengubah paradigma tentang disiplin dan mengadopsi pendekatan yang lebih humanis dan bermartabat. Sekolah, guru, orangtua, dan seluruh komponen masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan dan mendukung tumbuh kembang anak secara optimal.

Exit mobile version