BabelMendunia.com, Sumber daya alam berupa timah merupakan salah satu kekayaan terbesar yang dimiliki oleh Bangka Belitung, khususnya di berbagai daerah pesisir seperti Batu Beriga, Rias, dan sekitarnya. Namun, pengelolaan timah, baik yang dilakukan oleh PT Timah maupun oleh masyarakat tambang, sering kali menimbulkan konflik dengan kelompok masyarakat lain seperti nelayan, petani, pelaku pariwisata, dan pelaku perkebunan. Perbedaan kepentingan dan perebutan ruang wilayah menyebabkan benturan sosial yang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Sebagai mahasiswa yang memiliki peran sebagai agent of change, saya menawarkan solusi yang bertujuan menciptakan win-win solution agar potensi timah dapat dimanfaatkan dengan bijaksana tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat lain.
1. Zonasi Wilayah Secara Transparan dan Adil
Penting untuk dilakukan pemetaan zonasi wilayah yang jelas dan legal, dengan melibatkan semua pihak sejak awal: masyarakat tambang, nelayan, petani, pelaku pariwisata, hingga pemerintah daerah. Misalnya, wilayah tangkap nelayan harus dinyatakan sebagai zona larangan tambang yang tidak bisa diganggu gugat. Begitu juga wilayah pantai untuk pariwisata, dan lahan perkebunan untuk pertanian harus dilindungi.
Dalam kasus Batu Beriga, ketidakjelasan batas wilayah tambang menyebabkan konflik antarwarga. Dengan adanya peta zonasi resmi yang disepakati bersama, potensi konflik dapat diminimalisasi.
2. Membentuk Forum Dialog Bersama
Harus dibentuk forum komunikasi reguler, misalnya Forum Masyarakat Sadar Tambang dan Lingkungan yang beranggotakan perwakilan tambang, nelayan, petani, pelaku wisata, akademisi, dan pemerintah. Forum ini berfungsi untuk mendengarkan aspirasi semua pihak, menyelesaikan masalah secara musyawarah, serta mengawasi aktivitas pertambangan agar tetap sesuai kesepakatan.
Mahasiswa dan akademisi bisa berperan aktif sebagai mediator atau fasilitator dalam forum ini, agar setiap keputusan diambil berdasarkan musyawarah mufakat, bukan berdasarkan kekuatan atau tekanan sepihak.
3. Teknologi Tambang Ramah Lingkungan
Aktivitas pertambangan harus diarahkan untuk menggunakan teknologi yang minim dampak terhadap ekosistem laut, pertanian, dan kebun. Mahasiswa bidang teknik pertambangan, lingkungan, dan teknologi bisa berperan menawarkan riset dan inovasi tentang metode pertambangan yang lebih ramah lingkungan.
Misalnya, jika tambang dilakukan di darat (onshore), harus ada program reklamasi lahan bekas tambang secepat mungkin agar tidak merusak kesuburan tanah perkebunan. Jika tambang di lepas pantai, harus dipastikan jauh dari wilayah tangkap utama nelayan.
4. Membentuk Dana Kompensasi dan Program CSR yang Tepat Sasaran
Sebagai bagian dari tanggung jawab sosial, perusahaan tambang wajib membentuk dana kompensasi untuk membantu nelayan dan petani yang terdampak. Namun, dana ini harus dikelola dengan transparan dan digunakan untuk program produktif, misalnya pelatihan, bantuan alat tangkap, pengembangan agrowisata, atau konservasi laut.
Mahasiswa dapat mendorong program monitoring dan evaluasi penggunaan dana CSR ini agar benar-benar bermanfaat untuk memperkuat ekonomi masyarakat lokal, bukan hanya sekadar formalitas.
5. Edukasi dan Sosialisasi Berkelanjutan
Konflik sering terjadi karena kurangnya informasi yang benar di lapangan. Oleh karena itu, perlu ada program edukasi rutin untuk masyarakat mengenai dampak pertambangan, hak-hak wilayah, serta pentingnya menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Mahasiswa dapat membantu membuat program sosialisasi kreatif seperti diskusi publik, kampanye media sosial, atau video edukasi berbasis lokal.
Penutup
Timah adalah berkah, namun tanpa pengelolaan yang bijak, ia bisa menjadi sumber konflik sosial. Sebagai mahasiswa, kita harus mendorong solusi yang adil, berkelanjutan, dan berbasis dialog, agar semua pihak—baik penambang, nelayan, petani, hingga pelaku wisata—bisa hidup berdampingan dan sejahtera bersama. Dengan prinsip musyawarah, transparansi, dan inovasi, kita bisa memastikan bahwa keberkahan timah tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan sumber kemajuan bersama.