BabelMendunia.com, Menurut saya, perkembangan teknologi di era digital membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pola asuh anak. Salah satu fenomena yang kian marak adalah kebiasaan orang tua menggunakan YouTube sebagai baby sitter digital, yakni menyerahkan anak-anak mereka untuk diasuh secara pasif oleh tayangan video tanpa pengawasan yang memadai.
Bagi saya, praktik ini, meski tampak sederhana dan praktis di tengah kesibukan orang tua, justru membawa dampak negatif yang serius terhadap perkembangan kognitif, bahasa, sosial emosional, bahkan moral anak. Pada usia dini, yakni antara 0 hingga 6 tahun, anak mengalami masa keemasan (golden age) dalam perkembangan otak dan karakter.
Pada periode ini, otak anak berkembang pesat, kemampuan bahasa mulai terbentuk, dan landasan sosial emosional mulai ditanamkan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Andini Eka Putri dan rekan-rekannya (2024: 233–234), penggunaan video pendek seperti yang tersedia di YouTube memang dapat memberikan stimulasi terhadap daya ingat, kreativitas, dan kosakata baru.
Namun, menurut saya, paparan yang tidak terkendali justru lebih banyak mengundang risiko negatif, seperti terganggunya kesehatan otak akibat konten tidak sesuai usia, penurunan konsentrasi, hingga perolehan kosakata negatif yang berbahaya bagi perkembangan bahasa anak.
Lebih jauh lagi, dalam studi oleh Setiyani et al. (2023: 6723–6725), ditemukan bahwa anak-anak yang sering diberikan akses YouTube tanpa batas mengalami perubahan perilaku yang mengkhawatirkan. Menurut saya, mereka cenderung menjadi lebih sulit berinteraksi sosial, lambat dalam merespons komunikasi, serta lebih mudah marah dan kecanduan terhadap gadget.
Anak-anak yang menonton YouTube saat makan atau tidur, hampir setiap hari, menunjukkan gejala keterikatan yang kuat pada konten digital sehingga mengabaikan aktivitas sosial di dunia nyata.Tak hanya menghambat perkembangan kognitif dan sosial, saya berpendapat bahwa penggunaan YouTube secara berlebihan juga merusak perkembangan moral anak. Pada studi dari Nihwan dan Haya Mudianti (2023: 2–4) menunjukkan bahwa banyak anak usia dini yang mengalami penurunan dalam aspek moral akibat tayangan di YouTube.
Anak-anak tersebut menunjukkan perilaku tidak sopan terhadap guru, kurang disiplin, kurang bertanggung jawab, bahkan gemar berbohong atau melakukan prank. Hal ini terjadi karena, bagi saya, pada usia emas, anak-anak memiliki kecenderungan kuat untuk meniru apa yang mereka lihat dan dengar tanpa kemampuan menyaring mana yang baik dan buruk.
Lebih parah lagi, dalam penelitian Anni, Ratih, dan Ratu (2022: 73–74) mengungkapkan bahwa penggunaan aplikasi YouTube lebih dari 120 menit per hari berhubungan erat dengan rendahnya perkembangan sosial emosional anak. Bagi saya, sangat disayangkan bahwa anak-anak menjadi lebih suka menyendiri, sulit beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan menampilkan gejala ketidakpedulian terhadap perasaan orang lain. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan kebutuhan anak untuk berkembang menjadi individu yang sehat secara sosial dan emosional.
Menurut saya, alasan orang tua menyerahkan anak kepada YouTube sering kali didasarkan pada kebutuhan praktis semata. Banyak orang tua merasa terbantu karena anak menjadi lebih tenang, tidak rewel, dan dapat di jaga tanpa harus terus menerus diawasi. Akan tetapi, kenyamanan jangka pendek ini membawa konsekuensi jangka panjang yang berat. Anak yang terbiasa menerima stimulasi pasif dari layar, menurut saya, akan kehilangan minat pada dunia nyata, kehilangan kesempatan mengembangkan kreativitas melalui permainan bebas, dan mengalami hambatan dalam membangun hubungan interpersonal yang sehat.
Saya berpandangan bahwa YouTube, pada dasarnya, adalah platform yang netral. Ia bisa menjadi media pembelajaran yang positif jika digunakan secara terbatas, selektif, dan dengan pendampingan orang tua. Namun, jika dibiarkan tanpa batas, YouTube justru menjadi pintu masuk bagi berbagai konten yang tidak pantas bagi perkembangan anak. Menurut saya, konten-konten penuh kekerasan, vulgaritas, konsumerisme, hingga pola pikir instan yang seringkali muncul di berbagai video dapat tertanam dalam pikiran anak-anak tanpa mereka sadari. Ketika orang tua lalai dalam mengawasi jenis konten yang dikonsumsi, saya berpendapat bahwa mereka sesungguhnya sedang mempertaruhkan masa depan anak mereka.
Bagi saya, lebih dari itu, menjadikan YouTube sebagai baby sitter berarti mengabaikan peran utama orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka. Anak-anak membutuhkan interaksi langsung, percakapan tatap muka, pengalaman bermain di dunia nyata, eksplorasi fisik, serta pembelajaran sosial melalui hubungan dengan keluarga dan teman sebaya. Interaksi manusiawi ini, menurut saya, tidak dapat digantikan oleh layar apapun, secerdas apapun algoritma di baliknya.
Jika kebiasaan buruk ini terus berlanjut, menurut pandangan saya, kita akan menghadapi generasi yang cerdas dalam menggunakan teknologi namun miskin dalam keterampilan sosial, empati, kontrol diri, dan nilai moral. Dampak jangka panjangnya bahkan lebih menakutkan: meningkatnya angka kecanduan digital, isolasi sosial, gangguan perkembangan bahasa, penurunan prestasi akademik, hingga munculnya perilaku menyimpang sejak usia dini. Saya yakin, penting bagi orang tua untuk mengambil kembali peran mereka secara penuh. Pertama, dengan membatasi waktu penggunaan YouTube sesuai rekomendasi para ahli, yaitu maksimal satu jam per hari untuk anak usia 2-5 tahun, dengan konten yang telah disaring secara ketat. Kedua, dengan menonton bersama anak, memberikan penjelasan kritis atas tayangan yang mereka lihat, serta mengaitkan konten digital dengan pengalaman nyata. Ketiga, dengan mengutamakan kegiatan bermain aktif, berinteraksi sosial, membaca buku, dan eksplorasi lingkungan sekitar sebagai aktivitas utama anak.
Mendidik anak di era digital memang lebih menantang dibandingkan masa lalu, tetapi bagi saya, tantangan ini bukan alasan untuk menyerah dan menyerahkan tugas penting itu pada mesin. Anak-anak berhak mendapatkan perhatian, pendampingan, dan bimbingan langsung dari orang dewasa yang mencintai mereka. Karena masa depan mereka, dan pada akhirnya masa depan bangsa, dibangun dari kualitas interaksi hari ini. YouTube, menurut saya, bukanlah pengganti kasih sayang, perhatian, dan bimbingan orang tua. Ia hanyalah alat, bukan pendidik. Oleh karena itu, saya mengajak kita semua untuk berhenti menjadikan YouTube sebagai baby sitter dan mulai kembali hadir sepenuh hati dalam kehidupan anak-anak kita.
Daftar Pustaka :
Andini Eka Putri, Fraditya Lexcy Aurilio, Muhammad Sifa Alayubi, Raissa Dwifandra Putri. 2024. Dampak Video Pendek Terhadap Perkembangan Kognitif dan Bahasa pada Masa Early Childhood. Jurnal Flourishing, 4(5): 233–234.
Anni Saumi Fitri, Ratih Kusumawardani, Ratu Amalia Hayani. 2022. Pengaruh Penggunaan Aplikasi YouTube Terhadap Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia 5-6 Tahun. Jurnal Raudhah, 10(2): 73–74.
Lila Setiyani, Salsa Desilva Basir, Dudi Awalludin, Sri Purwani. 2023. Analisis Pengaruh Aplikasi YouTube pada Perkembangan Kognitif Balita di Desa Tirtasari Karawang. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan (JIIP), 6(9): 6723–6725.
Nihwan, Haya Mudianti. 2023. Analisis Dampak Tayangan YouTube terhadap Perkembangan Moral Anak Usia Dini. Journal of Early Childhood Studies, 1(1): 2-4.