BabelMendunia.com, Indonesia sebagai negara demokrasi masih terus bergelut dengan permasalahan sistemik yang mengakar kuat dalam praktik kekuasaan. Salah satunya adalah fenomena “orang dalam”. Istilah ini begitu akrab di telinga masyarakat dan telah menjadi semacam rahasia umum dalam proses rekrutmen jabatan, baik di instansi pemerintahan, lembaga pendidikan, maupun dunia kerja secara umum. “Orang dalam” mengacu pada seseorang yang memiliki koneksi atau hubungan khusus dengan pihak berwenang, yang kemudian digunakan untuk memberikan jalan pintas menuju posisi atau keuntungan tertentu. Fenomena ini erat kaitannya dengan praktik nepotismepengangkatan atau pemberian jabatan kepada kerabat, keluarga, atau orang dekat berdasarkan hubungan pribadi, bukan kompetensi.
Praktik “orang dalam” tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari budaya paternalistik yang kuat. Budaya paternalistik mengakar kuat dalam sistem rekrutmen Indonesia. Di mana jabatan sering kali dipandang sebagai warisan atau bentuk “balas budi” terhadap kedekatan pribadi. Dalam pemerintahan, kita sering mendengar berita tentang pejabat yang mengangkat anak, menantu, atau saudara kandung ke posisi strategis. Tak jarang pula dalam proses seleksi pekerjaan, atau tender proyek, muncul desas-desus bahwa “kalau tidak punya orang dalam, kecil kemungkinan diterima.” Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh relasi sosial dan keluarga dalam menentukan jalur karier seseorang.
Dampak yang diperoleh dari adanya Nepotisme ini adalah Pertama, praktik ini menghambat akses yang adil terhadap kesempatan. Generasi muda yang telah menempuh pendidikan tinggi, memiliki keterampilan, dan siap bersaing secara sehat justru merasa putus asa karena melihat kenyataan bahwa koneksi lebih utama dari kompetensi Akibatnya, banyak anak muda akhirnya memilih jalan yang sama mencari “jalur belakang”dan ini menjadi lingkaran setan yang sulit diputus. Kedua, praktik “orang dalam” menumbuhkan budaya tidak transparan dan koruptif. Karena jabatan diperoleh lewat koneksi, maka akuntabilitas menjadi kabur. Ketiga, kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik terus menurun.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan praktik “orang dalam” masih mengakar kuat. Pertama adalah budaya permisif dalam masyarakat. Banyak yang menganggap hal ini “wajar” atau “lumrah” karena sudah menjadi kebiasaan turun-temurun. Kedua adalah lemahnya pengawasan dan regulasi. Sistem seleksi jabatan publik belum sepenuhnya transparan . Ketiga, adalah politik balas jasa. Dalam dunia politik, memberi jabatan kepada kerabat atau tim sukses dianggap sebagai bentuk loyalitas dan cara mempertahankan kekuasaan..
Untuk memutus rantai praktik “orang dalam”, dibutuhkan langkah yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga kultural. Pertama, menerapkan sistem seleksi terbuka dan berbasis merit. Kedua, mengembangkan sistem pelaporan dan pengaduan publik. Ketiga, mengintegrasikan pendidikan antikorupsi sejak dini. Keempat, mendorong media dan masyarakat sipil untuk aktif mengawasi dan mengkritisi praktik nepotisme dan “orang dalam”.
Fenomena “orang dalam” bukan sekadar istilah sehari-hari, melainkan cerminan dari sistem yang pincang dan tidak adil. Oleh karena itu, perubahan tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah atau satu pihak saja. Diperlukan kesadaran kolektif untuk membangun budaya integritas, meritokrasi, dan transparansi. Jabatan publik seharusnya bukan hak istimewa keluarga, melainkan amanah rakyat yang harus diemban oleh mereka yang benar-benar layak dan kompeten.
Tahniya Dwi Ramadinah, Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung
Referensi
Sari, D. P. (2020). “Nepotisme dalam Rekrutmen Jabatan Publik di Indonesia: Analisis Budaya dan Dampaknya”. Jurnal Administrasi Publik, 12(1), 45-60.
Transparency International. (2021). Indeks Persepsi Korupsi 2020: Indonesia. Diakses dari transparency.org.
Indonesia Corruption Watch (ICW). (2023). “Laporan Tahunan: Korupsi dan Nepotisme di Sektor Publik”. Diakses dari icw.or.id.
Rachman, A. (2018). Nepotisme dan Korupsi di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis. Jakarta.