BabelMendunia.com, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, termasuk sumber daya tambang seperti timah yang melimpah di wilayah pesisir dan daratan Bangka Belitung. Namun, aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan seperti PT Timah dan juga oleh masyarakat penambang tradisional sering kali beririsan langsung dengan daerah tempat tinggal kelompok lain, seperti nelayan, petani, dan pelaku pariwisata. Di sinilah potensi konflik sosial dan ekologis muncul, seperti yang terjadi di kawasan Batu Briga dan Rias.
Ketika kegiatan pertambangan mulai mengganggu area tangkap nelayan, pantai, atau bahkan lahan perkebunan serta lokasi pariwisata, benturan kepentingan pun tak dapat dihindari. Di satu sisi, pertambangan menawarkan potensi pendapatan yang cepat dan peluang ekonomi. Namun, di sisi lain, masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut, pertanian, dan industri pariwisata sering kali merasa dirugikan akibat pencemaran, kerusakan ekosistem, dan hilangnya mata pencaharian.
Dalam konteks ini, peran mahasiswa sebagai kaum intelektual dan akademisi sangat penting untuk menjadi penengah yang objektif serta mendorong terciptanya solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak. Mahasiswa memiliki posisi strategis—tidak hanya sebagai penyampai gagasan, tetapi juga sebagai fasilitator perubahan sosial yang konstruktif.
Untuk memahami konflik di wilayah Batu Briga atau Rias, perlu ditelusuri akar masalahnya yang sering berasal dari beberapa faktor. Salah satunya adalah tumpang tindih wilayah penggunaan lahan, di mana aktivitas tambang sering mengganggu area tangkap nelayan, kawasan wisata, dan lahan pertanian. Selain itu, kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan turut memperburuk situasi. Masyarakat juga merasakan dampak langsung dari pencemaran dan kerusakan infrastruktur ekonomi. Ketimpangan akses informasi membuat masyarakat tidak sepenuhnya memahami dampak jangka panjang dari tambang, sementara pihak tambang kurang menyadari pentingnya wilayah tersebut untuk kehidupan lokal.
Mahasiswa dapat berperan sebagai mediator untuk mencari solusi. Beberapa langkah yang dapat diambil adalah melakukan pemetaan wilayah secara partisipatif, membangun forum dialog multistakeholder, melakukan advokasi berbasis data, mendorong skema kompensasi dan CSR yang adil, serta melaksanakan kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaran lingkungan. Melalui inisiatif ini, diharapkan semua pihak dapat terlibat dan menghasilkan keputusan yang lebih baik untuk masyarakat.
Batu Briga dan Rias: Pembelajaran Berharga untuk Semua
Kasus yang terjadi di Batu Briga, di mana muncul konflik horizontal di antara masyarakat akibat kepentingan tambang, seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita semua. Ketika tambang beroperasi tanpa perencanaan yang melibatkan masyarakat secara partisipatif dan tanpa memperhatikan keadilan ekologis, potensi perpecahan di antara warga sangat besar, yang pada akhirnya merugikan semua pihak.
Demikian pula, wilayah Rias yang merupakan daerah pesisir dan agraris juga perlu dilindungi dari potensi tumpang tindih fungsi lahan. Tanpa adanya batasan yang jelas dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan, risiko terjadinya konflik di masa depan akan semakin meningkat.
Konflik antara tambang dan masyarakat bukanlah hal yang sederhana, namun bukan juga sesuatu yang mustahil diselesaikan. Diperlukan pendekatan dialogis, data ilmiah, dan keterlibatan semua pihak. Dalam hal ini, mahasiswa bukan hanya penonton atau pengkritik, melainkan aktor perubahan yang membawa harapan akan terciptanya solusi win-win.
Dengan keberpihakan pada keadilan, ilmu pengetahuan, dan pendekatan partisipatif, mahasiswa bisa menjadi jembatan antara tambang dan masyarakat—mewujudkan pembangunan yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang.