BabelMendunia.com, BANGKA BELITUNG – Di atas kertas, kinerja keuangan perusahaan tambang di Bangka Belitung terlihat membanggakan. Pendapatan meningkat, aset bertambah, dan keuntungan terus bertumbuh. Bahkan, dalam laporan tahunan beberapa perusahaan besar, nilai laba mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. namun di lapangan, realitas yang dihadapi masyarakat jauh berbeda. Di sejumlah wilayah seperti Sungai liat, Belinyu, hingga Toboali, warga hidup berdampingan dengan lubang-lubang bekas tambang yang menganga, air tanah yang berubah keruh, dan lahan pertanian yang tak lagi produktif.
“Kalau dilihat di laporan keuangan, semua kelihatan bagus. Tapi kami yang tinggal di sekitar tambang tidak merasakan apa-apa selain kerusakan,” ujar Rina, seorang ibu rumah tangga di Sungai liat yang mengandalkan air hujan karena sumur desanya tak layak konsumsi lagi.
Kondisi ini memunculkan kritik terhadap sistem akuntansi konvensional yang selama ini digunakan perusahaan. Banyak pihak menilai bahwa akuntansi saat ini hanya fokus pada keuntungan finansial semata, tanpa mempertimbangkan dampak sosial, kesehatan, dan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. “masalahnya, akuntansi modern yang kita pakai hari ini adalah produk sistem kolonial. Ia memang diciptakan untuk mencatat hasil bumi dan melaporkannya ke pusat kekuasaan, bukan untuk melindungi masyarakat di sekitar tambang,” ujar Ahmad Fauzi, dosen akuntansi dari Pangkal pinang.
Menurut Fauzi, tidak ada satu pun pos dalam laporan keuangan yang mencatat berapa biaya yang harus dikeluarkan warga untuk beli air bersih, seberapa besar kerugian nelayan karena laut yang tercemar, atau berapa persen peningkatan penyakit kulit dan paru-paru akibat aktivitas tambang.
Warga Membuat Akuntansi Versi Mereka Sendiri
Di tengah keterbatasan, sejumlah komunitas warga mulai menyusun bentuk pencatatan alternatif. Di Desa Riding Panjang, misalnya, warga mulai membuat catatan rumah tangga mengenai dampak ekonomi akibat tambang: dari biaya berobat anak, pembelian air galon, hingga hasil panen yang menurun. “awalnya hanya catatan kecil di buku tulis, tapi lama-lama kami sadar ini penting. Kalau perusahaan bisa mencatat untungnya, kami juga berhak mencatat kerugian kami,” ujar Supardi, salah satu tokoh masyarakat setempat.
Gerakan ini dikenal sebagai akuntansi rakyat atau citizen accounting. Sebuah bentuk akuntansi yang lahir dari bawah, dari kebutuhan untuk mencatat realitas yang tak pernah masuk ke laporan resmi perusahaan.
Sejumlah akademisi dan organisasi masyarakat sipil mulai mendorong perubahan cara berpikir dalam dunia akuntansi, khususnya di Bangka Belitung. Mereka menilai perlu ada integrasi antara pendekatan teknis akuntansi dengan nilai-nilai keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. usulan konkret mulai muncul, seperti kurikulum akuntansi sosial di perguruan tinggi, pelatihan akuntansi partisipatif untuk masyarakat desa, hingga pengembangan aplikasi akuntansi sederhana yang dapat digunakan oleh pelaku UMKM lokal.
Bangka Belitung bisa menjadi pionir nasional dalam menerapkan akuntansi berbasis keadilan. Apa saja yang bisa dilakukan?
“Akuntansi tak bisa lagi hanya bicara soal laba dan rugi. Ia harus bisa mencatat ketimpangan, mencatat penderitaan warga, dan memberi gambaran menyeluruh tentang dampak ekonomi secara adil,” tegas Nur Aini, aktivis lingkungan dari Belitung.
Saatnya Akuntansi Berpihak pada Rakyat
Bangka Belitung adalah salah satu lumbung tambang timah terbesar di dunia. Namun ironisnya, banyak warganya yang masih hidup dalam keterbatasan. Infrastruktur dasar seperti air bersih, layanan kesehatan, dan pendidikan masih menjadi persoalan harian. Jika selama ini akuntansi menjadi alat yang mendukung kelancaran bisnis, kini sudah waktunya akuntansi menjadi alat yang berpihak pada kehidupan. Laporan keuangan tidak boleh hanya membanggakan pemegang saham, tetapi juga harus bisa menunjukkan apakah rakyat di sekitarnya turut merasakan manfaat.
“Akuntansi bukan cuma alat hitung. Ia bisa jadi alat perjuangan. Tinggal kita mau atau tidak mengubah cara memakainya,” tutup Fauzi.