BabelMendunia.com, Globalisasi telah membawa dampak besar terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Di satu sisi, globalisasi membuka akses informasi dan pengetahuan yang luas tanpa batas ruang dan waktu. Namun di sisi lain, arus budaya asing yang masuk secara masif telah memengaruhi cara berpikir, gaya hidup, bahkan identitas generasi muda Indonesia. Fenomena ini tentu menimbulkan kekhawatiran akan tergerusnya budaya lokal yang menjadi ciri khas dan jati diri bangsa. Dalam konteks ini, pendidikan dasar memegang peran penting sebagai fondasi utama pembentukan karakter anak, termasuk dalam membangun kesadaran budaya. Guru sekolah dasar sebagai aktor utama di ruang kelas memiliki posisi strategis untuk menjadi filter budaya yang cerdas, guna membentuk generasi yang tidak hanya cakap secara akademik, tetapi juga memiliki kecintaan dan kepedulian terhadap budaya bangsa sendiri.
Anak usia sekolah dasar berada dalam fase perkembangan kognitif dan emosional yang sangat peka terhadap pengaruh lingkungan. Menurut teori perkembangan kognitif Jean Piaget, anak usia 7–11 tahun berada dalam tahap operasional konkret, di mana mereka mulai memahami konsep-konsep abstrak secara bertahap melalui pengalaman langsung dan interaksi sosial. Sayangnya, interaksi yang kini lebih banyak dilakukan anak dengan media digital menjadikan mereka lebih dekat dengan budaya global dibanding budaya lokal. Anak-anak lebih mengenal tokoh-tokoh kartun dari luar negeri ketimbang tokoh pewayangan atau legenda daerah. Mereka lebih fasih menyanyikan lagu-lagu barat ketimbang lagu daerah. Hal ini diperkuat oleh riset LIPI tahun 2021 yang menunjukkan bahwa lebih dari 70% anak-anak di kota besar Indonesia mengakses konten budaya asing setiap hari melalui YouTube, media sosial, dan gim online.
Masuknya budaya asing tentu tidak dapat dihindari, terlebih di era digitalisasi saat ini. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika budaya luar dianggap lebih menarik dan superior dibanding budaya sendiri. Di sinilah peran guru sekolah dasar menjadi sangat krusial. Guru tidak hanya dituntut menjadi pengajar, melainkan juga pendidik yang mampu menyaring nilai-nilai yang layak diserap dan mengajarkan siswa untuk mengenali serta mencintai budaya mereka sendiri. Guru harus mampu menjadi filter budaya yang objektif, yang tidak menolak globalisasi, namun tetap menempatkan budaya lokal sebagai identitas yang perlu dibanggakan.
Peran guru sebagai filter budaya dapat dimulai dari cara guru mendesain pembelajaran. Misalnya, dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, guru bisa mengangkat cerita rakyat sebagai bahan bacaan. Dalam pelajaran Seni Budaya, siswa dapat diajak membuat kerajinan tradisional atau mempraktikkan tari daerah. Bahkan dalam pelajaran Matematika sekalipun, soal-soal kontekstual bisa disusun dengan latar budaya lokal, seperti menghitung hasil panen, ukuran rumah adat, atau pola kain tradisional. Dengan demikian, siswa tidak hanya belajar materi pelajaran, tetapi juga menyerap nilai-nilai budaya secara tidak langsung.
Selain itu, guru juga dapat menciptakan suasana sekolah yang mendukung tumbuhnya rasa cinta budaya. Misalnya dengan menyelenggarakan kegiatan rutin seperti hari budaya, lomba permainan tradisional, pertunjukan seni lokal, atau kunjungan ke museum dan situs budaya. Aktivitas semacam ini akan memberikan pengalaman nyata kepada siswa tentang keberagaman dan kekayaan budaya bangsa. Pengalaman ini sangat penting dalam membangun keterikatan emosional antara anak dan budayanya.
Namun, untuk bisa menjalankan peran tersebut dengan optimal, guru juga perlu memiliki pemahaman dan kesadaran budaya yang kuat. Sayangnya, masih banyak guru yang belum mendapatkan pelatihan atau pembekalan tentang pentingnya literasi budaya dalam proses pembelajaran. Menurut data Kemendikbudristek tahun 2022, lebih dari 60% guru sekolah dasar belum pernah mengikuti pelatihan yang secara khusus membahas integrasi budaya lokal dalam kurikulum. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri, sebab bagaimana mungkin seorang guru dapat menanamkan cinta budaya kepada siswa jika ia sendiri tidak memahami atau tidak akrab dengan budaya lokalnya?
Dukungan dari pemerintah dan pemangku kebijakan pendidikan sangat diperlukan agar peran guru sebagai filter budaya dapat berjalan maksimal. Pemerintah dapat menyusun kebijakan yang mendorong pelatihan literasi budaya bagi guru, menyediakan sumber belajar berbasis budaya lokal, dan memberikan insentif kepada sekolah-sekolah yang aktif melestarikan budaya melalui pembelajaran. Selain itu, kolaborasi antara sekolah dengan komunitas budaya, tokoh adat, serta seniman lokal juga sangat penting untuk memperkaya wawasan budaya siswa.
Di tengah tantangan globalisasi yang begitu masif, peran guru sekolah dasar dalam membentuk generasi cinta budaya menjadi semakin urgen. Guru tidak bisa hanya berfokus pada capaian akademik semata, tetapi juga harus bertanggung jawab dalam menjaga keberlanjutan nilai-nilai budaya bangsa. Guru harus menjadi figur teladan yang memperkenalkan budaya dengan cara yang menyenangkan, membangun kesadaran budaya dengan pendekatan kontekstual, serta memotivasi siswa untuk bangga menjadi bagian dari bangsa yang kaya akan tradisi dan kearifan lokal.
Kesimpulannya, arus globalisasi adalah kenyataan yang tidak bisa ditolak, namun harus dihadapi dengan bijak. Dalam konteks pendidikan dasar, guru sekolah dasar memiliki tanggung jawab besar sebagai filter budaya yang mampu menyeimbangkan pengaruh budaya luar dengan penguatan budaya lokal. Melalui pembelajaran yang kontekstual, kegiatan sekolah yang bernuansa budaya, serta teladan dari guru sendiri, anak-anak dapat tumbuh menjadi generasi yang melek budaya, bangga pada identitas bangsanya, dan tidak mudah hanyut dalam budaya luar. Oleh karena itu, investasi pada kualitas guru sebagai agen pelestari budaya harus menjadi prioritas dalam pembangunan pendidikan Indonesia ke depan.