Masjid At Taqwa Kebayoran Baru. Selepas solat maghrib, Irwan Indra berbisik : lagi ada masalah di paskibraka. Dari gawai yang disodorkan, saya melihat anggota paskibraka utusan Aceh sedang dikukuhkan tanpa mengenakan jilbab.
Irwan dan kawan-kawan segera bergerak. Mereka melawan kebijakan ini. Mereka merasa berhak melawan, selain sebagai warga negara, mereka juga adalah anggota purna paskibraka Indonesia. Jadi mereka layaknya sedang membela adik-adik mereka sendiri.
Perdebatan masalah Pancasila tidak pernah hilang sejak republik ini berdiri. Masing-masing kelompok berpegang pada penafsirannya sendiri-sendiri. Ini disadari betul oleh Bung Karno, sehingga Pancasila disodorkan sebagai sebuah meja statis sekaligus leitsar dinamis.
Sebagai meja statis, Pancasila berfungsi menyatukan seluruh elemen bangsa Indonesia. Sebagai leitsar dinamis, Pancasila dijadikan bintang penuntun ke arah kemajuan.
Dalam situasi inilah maka pemaknaan Pancasila mesti direfleksikan dari bagaimana para Founding Parent (ada peran wanita dalam pendirian Republik ini, bukan hanya para laki-laki) menggalinya.
Berkelilinglah dari Sabang sampai Merauke. Dari Sulawesi Utara hingga Nusa Tenggara Timur. Bertemulah manusia-manusia penghuninya. Bukan hanya dari ruang-ruang rapat dan seminar di aula megah. Duduk di pinggir pantainya, daki gunungnya, seberangi selatnya, lintasi sawahnya dan selami perasaannya.
Agama dan Budaya saya dapati dimana-mana. Membentuk dan mewarnai kehidupan sehari-hari manusia Indonesia. Rumah Gadang tua di dalam komplek pesantren milik keturunan syaikh Batuampar, kakek Bung Hatta. Gereja berusia hampir setengah milenium di kawasan Lei Hitu Ambon. Pura-pura yang tersebar di hampir setiap sudut pulau dewata. Bangunan itu adalah prasasti bagaimana manusia Indonesia dibentuk.
Dari tanah air ini bersemi manusia-manusia beraneka ragam yang tumbuh menjadi satu bangsa yang kokoh hingga saat ini. Bhinneka Tunggal Ika. Ikatannya adalah di perasaan yang satu sebagai sebuah bangsa. Bukan dari pakaian.
Bangsa, kata Ben Anderson, adalah sebuah komunitas yang dibayangkan. Jadi mestilah ada satu kondisi persamaan solidaritas yang digunakan sebagai dasar manusia-manusia di dalamnya untuk bersatu.
Persamaan itu bukanlah dibuat dari ruang vakum. Namun dibentuk dari akar-akar yang digali dari seluruh bangsa Indonesia. Akar ini kemudian termaktub dalam Pancasila, tidak terkecuali sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal kebudayaan bangsa, Bung Karno bahkan mengusulkan diletakkan di sila ini : Ketuhanan yang berkebudayaan. Karena dari sinilah akar kuat bangsa Indonesia.
Maka pendapat BPIP yang menganggap penggunaan Jilbab adalah perilaku yang tidak Pancasilais (dibuktikan dengan aturan teknis pakaian paskibraka yang mereka buat) adalah penafsiran yang sesat. Kenapa sesat ? Karena penafsiran mereka terhadap Pancasila tidak dikaji dari akar-akar masyarakat Indonesia sebagai pembentuk Bangsa ini. Dengan demikian penafsirannya menjadi ahistoris, layaknya melompat dari ruang vakum, tidak memiliki dasar yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu saja ini berbahaya.