BabelMendunia.com, Di daerah Bangka Belitung, sumber daya alam berupa timah menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama. Baik PT Timah maupun masyarakat setempat bergantung pada kegiatan pertambangan untuk menopang kehidupan mereka. Namun, keberadaan tambang yang semakin meluas mulai menimbulkan kekhawatiran. Konflik antarwarga, terutama antara masyarakat tambang dengan nelayan, petani, dan pelaku wisata, tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Seperti yang terjadi di Batu Beriga, ketegangan bahkan sempat mencuat akibat tumpang tindihnya kepentingan.
Sebagai bagian dari kaum akademisi, saya merasa perlu menawarkan solusi agar semua pihak dapat memperoleh manfaat tanpa harus saling merugikan. Sebuah pendekatan bijaksana, adil, dan berkelanjutan perlu segera diterapkan.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperjelas batas-batas aktivitas melalui zonasi wilayah. Setiap sektor perlu memiliki ruang masing-masing yang tidak bisa diganggu gugat. Wilayah laut tetap menjadi hak nelayan untuk mencari nafkah. Pantai dan kawasan pertanian dijaga untuk mendukung sektor pariwisata dan pertanian lokal. Sementara tambang harus beroperasi di area yang memang diperuntukkan, jauh dari wilayah tangkap nelayan atau kawasan produktif lainnya. Zonasi ini tidak hanya harus disusun berdasarkan kepentingan ekonomi semata, melainkan harus berdasarkan kajian ilmiah yang mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan.
Namun, zonasi saja tidak cukup. Diperlukan ruang dialog yang aktif. Sebuah forum multisektor, tempat di mana nelayan, petani, pelaku wisata, penambang rakyat, perusahaan tambang, hingga pemerintah bisa duduk bersama, berdiskusi, menyampaikan keberatan, dan mencari jalan tengah. Forum semacam ini bukan hanya untuk menyelesaikan masalah yang sudah terjadi, tetapi juga untuk mencegah masalah sejak dini melalui komunikasi yang terbuka dan jujur.
Di sisi lain, kita juga harus memikirkan keberadaan tambang rakyat. Banyak warga yang kehidupannya bergantung pada kegiatan ini. Alih-alih memusuhi, lebih bijak untuk membimbing mereka membentuk koperasi tambang rakyat yang legal dan diawasi. Dengan begitu, mereka bisa menambang dengan standar lingkungan yang lebih baik, membayar kontribusi kepada daerah, dan ikut menjaga keseimbangan alam.
Kegiatan pertambangan pun harus disertai dengan program reklamasi yang jelas. Bekas galian tambang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Mereka harus diubah menjadi kawasan produktif kembali, misalnya dijadikan lahan pertanian, kolam ikan, atau bahkan kawasan ekowisata. Dengan program reklamasi yang berjalan baik, kerusakan akibat tambang bisa dipulihkan, bahkan memberi nilai tambah baru bagi masyarakat.
Akhirnya, semua upaya ini akan sia-sia jika masyarakat tidak dilibatkan dan diberdayakan. Perlu ada program edukasi dan pelatihan agar masyarakat memiliki alternatif sumber penghasilan di luar tambang. Usaha wisata, pertanian organik, hingga perikanan budidaya bisa menjadi jalan keluar agar ketergantungan terhadap tambang perlahan berkurang.
Saya percaya, jika semua pihak mau bergerak bersama, saling menghormati, dan memikirkan masa depan, maka kekayaan alam berupa timah ini bisa menjadi berkah, bukan sumber petaka. Kaum akademisi harus menjadi jembatan yang mempertemukan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan, sehingga yang terwujud bukan hanya kemajuan, melainkan juga keharmonisan dan keberlanjutan.