BabelMendunia.com, Social commerce atau transaksi jual beli melalui platform media sosial, telah menjadi fenomena transformatif dalam lanskap bisnis digital Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah pengguna aktif media sosial yang diperkirakan sekitar 167 juta atau 64,3% dari jumlah populasi, Indonesia menjadi lahan subur bagi perkembangan model bisnis ini. Social commerce tidak sekadar menggabungkan e-commerce dengan media sosial, tetapi menciptakan ekosistem unik yang dapat mengubah cara masyarakat berbelanja dan berbisnis.
Evolusi tersebut menawarkan demokratisasi akses pasar yang belum pernah terjadi sebelumnya, memungkinkan siapa saja mulai dari ibu rumah tangga hingga mahasiswa untuk menjadi entrepreneur digital tanpa modal besar atau pengetahuan teknis yang mendalam.
Keunggulan utama dari social commerce terletak pada kemampuannya membangun kepercayaan konsumen melalui interaksi sosial yang lebih personal dan autentik. Faktor kepercayaan interpersonal dan rekomendasi mulut ke mulut (word-of-mouth) memiliki pengaruh yang cukup kuat, sehingga Konsumen di Indonesia lebih cenderung membeli produk yang direkomendasikan oleh koneksi sosial mereka dibandingkan melalui iklan konvensional.
Elemen interaksi manusia dalam transaksi komersial menciptakan persepsi kehadiran sosial yang meningkatkan kepercayaan dan mengurangi persepsi risiko pembelian. Hal ini menjadikan social commerce sangat efektif di Indonesia, di mana kepercayaan interpersonal memainkan peran penting dalam keputusan pembelian. Perkembangan social commerce di Indonesia juga ditandai dengan munculnya berbagai model bisnis inovatif seperti grup belanja komunitas, live streamingcommerce serta reseller digital yang di dukung berbagai platform seperti Facebook Shop (atau
melalui forum, komunitas dan grup), TikTok Shop, Instagram Shopping dan WhatsApp Business telah berhasil mengadaptasi strategi mereka dengan mempertimbangkan karakteristik lokal ini, menawarkan fitur yang memudahkan interaksi sosial dalam proses belanja. Fenomena ini menciptakan lapangan kerja baru dan memberdayakan ekonomi mikro di berbagai daerah, termasuk wilayah semi-urban yang sebelumnya kurang terlayani oleh e-commerce konvensional.
Meskipun membawa banyak peluang, evolusi social commerce juga menghadirkan tantangan signifikan. Isu-isu seperti information overload, privacy concerns dan product authenticity menjadi hambatan pertumbuhan sektor ini. Konsumen sering kali kesulitan membedakan produk asli dari palsu, sementara penjual kecil berjuang untuk mendapatkan visibilitas di tengah persaingan yang semakin ketat. Namun demikian, pemerintah Indonesia melalui kementerian terkait telah mulai menerapkan regulasi yang lebih kokoh untuk melindungi
konsumen sekaligus mendorong inovasi. Kolaborasi antara pelaku bisnis, regulator dan akademisi menjadi krusial untuk memastikan bahwa evolusi social commerce di Indonesia berlangsung secara berkelanjutan, inklusif dan mampu berkontribusi positif terhadap ekonomi digital nasional dalam jangka panjang.
Sebagai kesimpulan, social commerce tidak hanya mengubah cara masyarakat Indonesia berbelanja tetapi juga membuka peluang kewirausahaan digital yang lebih demokratis dan inklusif. Dengan memanfaatkan karakteristik sosial budaya Indonesia yang unik dan tingkat adopsi teknologi yang tinggi, model bisnis ini akan terus berevolusi dan menjadi pilar penting dalam ekosistem digital entrepreneurship Indonesia. Tantangan yang ada perlu dihadapi dengan regulasi yang tepat dan edukasi yang berkelanjutan, sehingga social commerce dapat berkembang secara sehat dan memberikan manfaat ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia