BabelMendunia.com, Nepotisme merupakan salah satu tantangan utama dalam upaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas di lingkungan organisasi, baik pemerintahan maupun swasta. Fenomena ini merujuk pada perilaku mengutamakan kerabat atau orang dekat dalam pemberian jabatan, proyek, atau fasilitas, tanpa mempertimbangkan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki. Praktik nepotisme tidak hanya melanggar prinsip keadilan dan meritokrasi, tetapi juga secara nyata menghambat terciptanya lingkungan organisasi yang sehat dan profesional. Dalam konteks Indonesia, nepotisme telah menjadi perhatian serius, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Fenomena nepotisme di Indonesia masih sangat nyata dan sering ditemukan di berbagai sektor. Berdasarkan survei Transparency International Indonesia tahun 2024, Indonesia mendapatkan skor 34 dari 100 dalam Indeks Persepsi Korupsi, yang menunjukkan masih tingginya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam birokrasi dan organisasi publik(Javier, 2025). Selain itu, laporan dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada tahun 2024 mencatat bahwa sekitar 27% pengaduan pelanggaran etika ASN berkaitan dengan praktik nepotisme dalam proses rekrutmen dan promosi jabatan (Fakhrulloh, 2024). Data ini memperlihatkan bahwa nepotisme bukan hanya isu etika, tetapi juga berdampak langsung pada efektivitas dan kredibilitas organisasi di mata publik.
Isu nepotisme menjadi sangat penting karena praktik ini dapat menurunkan kualitas pelayanan publik, menghambat inovasi, serta merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi. Bagi generasi muda dapat memahami dampak nepotisme menjadi bekal penting untuk membangun budaya organisasi yang lebih transparan dan akuntabel di masa depan. Dengan menyoroti isu ini, diharapkan akan tumbuh kesadaran kolektif untuk menolak praktik-praktik tidak sehat dalam organisasi, serta mendorong terciptanya sistem yang lebih adil dan berorientasi pada kompetensi.
Pembahasan
Nepotisme secara umum diartikan sebagai tindakan seseorang yang memanfaatkan kekuasaan atau posisinya untuk memberikan keuntungan, jabatan, atau fasilitas kepada kerabat atau teman dekat, tanpa mempertimbangkan kompetensi dan kualifikasi individu tersebut. Menurut (Karso, 2022), nepotisme adalah pemanfaatan jabatan untuk memberi kesempatan, pekerjaan, dan penghasilan bagi keluarga dan kerabat dekat pejabat, sehingga menutup peluang bagi pihak lain yang lebih berkompeten. Secara hukum, Pasal 1 angka 5 UU No. 28 Tahun 1999 mendefinisikan nepotisme sebagai perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara (Moningka et al., 2025). Contoh nepotisme dapat berupa penunjukan anggota keluarga untuk mengisi posisi strategis dalam pemerintahan tanpa melalui proses seleksi yang transparan dan kompetitif.
Praktik nepotisme sangat berdampak negatif terhadap transparansi dan akuntabilitas organisasi. Ketika pengisian jabatan atau pemberian tugas didasarkan pada kedekatan personal bukan darikemampuan, maka proses pengambilan keputusan menjadi tidak transparan dan rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan (Maisaroh & Buana, 2025). Hal ini menciptakan ketidakadilan, menurunkan moral pegawai lain, dan menghambat inovasi karena individu yang tidak kompeten menempati posisi strategis. Nepotisme juga dapat memperbesar peluang terjadinya korupsi dan kolusi, serta merusak kepercayaan publik terhadap institusi karena masyarakat menilai proses rekrutmen dan promosi tidak berjalan secara objektif dan terbuka.
Selain menurunkan kualitas pelayanan publik dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi, nepotisme juga berdampak signifikan terhadap kinerja dan integritas organisasi (Kurniati et al., 2025). Praktik nepotisme yang berlangsung secara sistemik dapat menurunkan motivasi dan kepuasan kerja pegawai, karena mereka merasa peluang pengembangan karier dan penghargaan tidak didasarkan pada prestasi atau kompetensi, melainkan pada kedekatan personal. Hal ini pada akhirnya menghambat efektivitas organisasi secara keseluruhan, karena pegawai yang kompeten merasa tidak dihargai dan produktivitas organisasi pun menurun.
Salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk menekan praktik nepotisme adalah dengan menanamkan pendidikan antikorupsi sejak dini. Pendidikan ini bertujuan membangun karakter generasi muda yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, dan profesionalisme, serta menanamkan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap aspek kehidupan, termasuk di lingkungan organisas(Tyananda et al., 2025). Dengan pembiasaan nilai-nilai antikorupsi dan meritokrasi sejak bangku sekolah dan perguruan tinggi, diharapkan akan lahir generasi baru yang berintegritas dan tidak mudah tergoda oleh praktik-praktik nepotisme. Selain itu, penguatan sistem merit dan pengawasan eksternal yang independen juga perlu terus didorong agar setiap proses pengisian jabatan benar-benar didasarkan pada kompetensi dan kinerja, bukan relasi personal(Maisaroh & Buana, 2025). Sehingga upaya ini akan menciptakan lingkungan yang lebih adil dan profesional, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan berkembang. Dengan demikian, upaya kolektif melalui pendidikan karakter dan reformasi tata kelola organisasi menjadi kunci untuk mewujudkan lingkungan yang lebih transparan dan akuntabel, serta bebas dari praktik nepotisme.
Kesimpulan
Nepotisme adalah praktik penyalahgunaan kekuasaan dengan memberikan jabatan atau fasilitas kepada kerabat tanpa mempertimbangkan kompetensi, sehingga mengancam transparansi dan akuntabilitas organisasi. Dampaknya meliputi menurunnya motivasi pegawai, kualitas pelayanan publik, serta kepercayaan masyarakat terhadap institusi. Untuk mencegah nepotisme, diperlukan pendidikan antikorupsi sejak dini yang menanamkan nilai kejujuran dan profesionalisme, serta penguatan sistem merit dan pengawasan independen agar rekrutmen dan promosi jabatan benar-benar berdasarkan kompetensi. Dengan langkah ini, diharapkan tercipta organisasi yang lebih adil, profesional, dan dipercaya publik.
DAFTAR PUSTAKA
Fakhrulloh, Z. A. (2024). Laporan Kinerja Badan Kepegawaian Negara.
Javier, F. (2025). Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2024. Tempo. https://www.tempo.co/data/data/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2024-1208790
Karso, J. (2022). Buku Ajar Etika Politik Pemerintahan (Viana (ed.); 1st ed.). Samudra Biru.
Kurniati, K. C., Kurniawan, I. S., & Syafwan, M. A. (2025). Pengaruh Budaya Organisasi , Lingkungan Kerja , dan Motivasi. Jurnal Manajemen Pendidikan Dan Ilmu Sosial, 6(3), 2289–2296.
Maisaroh, & Buana, M. S. (2025). Dilema Sistem Merit sebagai Instrumen Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Pengisian Jabatan di Pemerintahan Daerah. Kolaboratif Sains, 8(5), 2390–2396. https://doi.org/10.56338/jks.v8i5.7539
Moningka, B. D. N., Setiabudhi, D. O., & Rumokoy, D. A. (2025). Kajian Hukum Nepotisme Pada Pengangkatan Dalam Jabatan Di Pemerintahan. Jurnal Fakultas Hukum Unsrat, 14(5).
Tyananda, B. A., Prayoga, R. D., Ester, T., Adhin, M. F., Adella, A. N., Hafizah, N., Azzahra, D. M., Shandefi, P., Zahrani, M., Fadila, E. L., & Nurahmi, N. A. (2025). Pendidikan Antikorupsi sebagai Upaya Membangun Generasi Berintegritas. Jurnal Pendidikan DanKewarganegaraan Indonesia, 2(1).