BabelMendunia.com, Laut Mengkubung, yang terletak di Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, menyimpan kisah pilu di balik keindahan alamnya. Kawasan yang dahulu menjadi tumpuan hidup ribuan nelayan lokal ini, kini menjadi korban keserakahan manusia melalui praktik penambangan timah ilegal. Aktivitas yang berlangsung bertahun-tahun ini telah merusak wajah laut secara perlahan, meninggalkan jejak luka mendalam pada lingkungan, sosial, hingga ekonomi masyarakat pesisir.
Meskipun berbagai upaya penertiban telah dilakukan oleh pihak berwenang, aktivitas tambang ilegal di Laut Mengkubung terus berlangsung seolah tak tersentuh. Hal ini menggambarkan bahwa krisis di wilayah ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi cerminan dari lemahnya tata kelola sumber daya alam dan minimnya komitmen penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Ketika hukum tak lagi berfungsi sebagai pelindung lingkungan dan rakyat kecil, maka kehancuran yang akan terjadi.
Dampak dari tambang ilegal begitu masif dan multidimensional. Dari segi lingkungan, terbentuknya beting pasir akibat sedimentasi tambang telah mengganggu jalur pelayaran nelayan dan kapal dagang kecil. Selain itu, kerusakan terumbu karang dan hilangnya biota laut menyebabkan populasi ikan menurun drastis. Perairan yang dulunya jernih kini keruh, tercemar oleh limbah tambang yang mengandung zat kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida. Pencemaran ini tidak hanya memusnahkan ekosistem laut, tapi juga membahayakan kesehatan masyarakat yang menggantungkan hidup dari hasil laut.
Dari sisi sosial dan ekonomi, dampaknya pun sangat terasa. Banyak nelayan kehilangan mata pencaharian mereka karena hasil tangkapan ikan yang terus menurun. Beberapa di antaranya bahkan terpaksa beralih profesi, termasuk menjadi buruh di tambang ilegal itu sendiri, sebuah ironi yang menyesakkan. Di tengah minimnya alternatif pekerjaan dan lemahnya dukungan pemerintah, masyarakat akhirnya terseret dalam siklus ketergantungan pada tambang yang merusak tanah air mereka sendiri.
Yang lebih menyedihkan, keberlanjutan tambang ilegal ini tak lepas dari pembiaran dan lemahnya koordinasi antar lembaga. Penertiban yang bersifat insidental tidak mampu memberikan efek jera, karena seringkali hanya bersifat sementara dan tidak menyentuh akar persoalan. Beberapa laporan bahkan menunjukkan adanya keterlibatan oknum aparat penegak hukum dan aparatur sipil negara dalam jaringan tambang ilegal tersebut. Ketika aparat yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi pelaku atau pelindung kejahatan, maka keadilan dan harapan seakan sirna.
Namun, semua belum terlambat. Meski Laut Mengkubung tengah menjerit, masih ada peluang untuk membalikkan keadaan dan menata ulang arah pembangunan kawasan pesisir ini. Untuk itu, diperlukan pendekatan komprehensif yang menyentuh aspek hukum, sosial, ekonomi, serta budaya masyarakat.
Pertama, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan transparan. Tidak boleh ada toleransi terhadap tambang ilegal, siapapun pelakunya. Penegak hukum harus menindak dengan tegas tanpa pandang bulu, termasuk apabila ada aparat atau pejabat yang terlibat. Proses hukum yang transparan, diawasi oleh lembaga independen dan masyarakat sipil, akan memulihkan kepercayaan publik dan memberikan efek jera yang nyata.
Kedua, masyarakat khususnya nelayan harus diberdayakan agar mampu menjadi bagian dari solusi. Masyarakat lokal adalah penjaga sejati lingkungan mereka. Dengan pelibatan aktif dalam pengawasan dan pengelolaan laut, disertai pelatihan teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan, mereka dapat bertransformasi dari korban menjadi pelindung ekosistem. Pemerintah juga perlu membentuk lembaga desa atau kelompok nelayan yang diberi kewenangan dan insentif untuk menjaga wilayah laut dari aktivitas ilegal.
Ketiga, pengembangan alternatif ekonomi berkelanjutan menjadi kunci dalam memutus ketergantungan masyarakat terhadap tambang. Pemerintah bersama sektor swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat harus membuka jalan bagi diversifikasi ekonomi, seperti budidaya ikan, rumput laut, ekowisata berbasis laut, serta industri pengolahan hasil laut. Dengan akses permodalan dan pelatihan keterampilan, masyarakat bisa membangun kembali kehidupan yang layak tanpa harus merusak lingkungan.
Keempat, koordinasi antar lembaga harus diperkuat. Seringkali, program pemerintah tidak berjalan maksimal karena adanya tumpang tindih kewenangan atau minimnya komunikasi. Dibutuhkan satuan tugas terpadu lintas sektor pemerintah daerah, TNI/Polri, kementerian terkait, dan perwakilan masyarakat untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dan tindakan memiliki arah yang sama untuk pemulihan Laut Mengkubung.
Kelima, pendidikan dan penyuluhan lingkungan harus digalakkan, khususnya kepada generasi muda. Kesadaran bahwa laut adalah sumber kehidupan harus ditanamkan sejak dini, baik melalui kurikulum sekolah maupun kegiatan luar kelas. Generasi muda yang paham dan peduli akan menjadi agen perubahan yang mampu menjaga Laut Mengkubung di masa depan.
Jeritan Laut Mengkubung merupakan sebuah alarm keras bagi kita semua. Ini bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga soal keberlanjutan hidup masyarakat pesisir dan masa depan generasi mendatang. Laut bukan sekadar ruang geografis, melainkan sumber kehidupan, identitas budaya, dan warisan alam yang harus dijaga. Saatnya kita berhenti menutup mata dan bersikap setengah hati. Pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata, masyarakat harus bersatu, dan sektor swasta harus mengambil peran dalam menciptakan ekonomi hijau yang berkeadilan. Jika semua pihak bergerak dalam sinergi, maka harapan untuk mengembalikan Laut Mengkubung menjadi sumber kehidupan yang lestari bukanlah utopia. Dari jeritan hari ini, bisa lahir harapan baru esok hari.