BabelMendunia.com, Di masa sekarang, ketika dunia kerja dituntut semakin profesional dan terbuka, praktik tidak adil dalam penerimaan pegawai masih marak terjadi. Salah satu bentuk ketidakadilan yang paling nyata adalah ketika seseorang mendapatkan pekerjaan bukan karena kapabilitasnya, melainkan karena hubungan dekat dengan orang berpengaruh. Fenomena ini telah lama ada dan masih menjadi persoalan serius karena mencederai keadilan dan integritas dalam dunia kerja.
Kejadian semacam ini bisa tampak dalam berbagai situasi. Misalnya, proses rekrutmen yang dilakukan secara tertutup, atau adanya jalur istimewa bagi keluarga dan kerabat pejabat. Prosedur seleksi yang semestinya menjadi alat untuk menilai keahlian justru berubah menjadi formalitas. Akibatnya, mereka yang punya koneksi mudah diterima, walaupun tidak memiliki kualifikasi sebaik pelamar lain.
Dampaknya pun tidak sedikit. Pertama, mereka yang melamar dengan usaha dan kemampuan sendiri akan merasa dirugikan , karena kalah oleh orang yang masuk lewat “orang dalam”. Kedua, kinerja lembaga atau perusahaan bisa menurun karena posisi penting diisi oleh orang yang tidak kompeten. Ketiga, budaya kerja yang sehat dan adil sulit tercipta jika perekrutan tidak berdasarkan prestasi.
Kenyataannya perilaku semacam ini sering dianggap wajar. Banyak yang menganggap memberikan posisi kepada kerabat atau teman dekat adalah hal yang sah, atas dasar rasa percayaatau loyalitas. Padahal, keberhasilan sebuah institusi bergantung pada tenaga kerja yang benar-benar ahli di bidangnya. Jika posisi diberikan hanya karena kedekatan, maka kualitas kerjaakan menjadi taruhannya.
Di instansi pemerintah, praktik ini berdampak lebih luas karena dapat merusak pelayanan publik. Ketika jabatan dipegang oleh orang yang tidak sesuai kapasitasnya, maka keputusan dan kebijakan pun berpotensi salah sasaran. Di sektor swasta pun tak jauh berbeda. Rekrutmen berdasarkan hubungan pribadi dapat melemahkan kinerja tim dan menimbulkan kecemburuan antar karyawan .
Untuk mencegah hal ini, sistem seleksi pegawai harus dijalankan berdasarkan meritokrasi penilaian berdasarkan kemampuan , pengalaman, dan prestasi. Proses perekrutan juga perlu diawasi secara ketat agar bersih dari kepentingan pribadi. Selain itu, pendidikan moral dan etika kerja harus ditanamkan sejak dini agar generasi masa depan memiliki prinsip bahwa keahlian lebih penting dari koneksi.
Peran masyarakat juga penting. Kita tidak boleh diam terhadap ketidakadilan seperti ini. Media dan lembaga pengawas harus aktif mengungkap praktik tersebut agar tidak terus dilanggengkan. Semakin banyak pihak yang peduli dan menolak praktik ini, semakin sulit juga bagi sistem yang tidak adil untukbertahan.
Kebiasaan memberi pekerjaan karena kedekatan, bukankarena kemampuan, adalah masalah yang serius. Ini bukanhanya soal etika, tapi juga menyangkut kualitas sistem kerja. Dunia kerja yang ideal adalah dunia yang memberikan kesempatan kepada orang yang layak berdasarkan kemampuannya . Sudah waktunya kita menegakkan budaya profesional yang adil dan transparan, demi masa depan yang lebih baik.