BabelMendunia.com, Dalam pandangan umum, pendidikan adalah jalan menuju kesuksesan. Ia dilihat sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, penghasilan tinggi, dan status sosial yang mapan. Tak heran jika sistem pendidikan di banyak tempat cenderung menekankan pencapaian akademik, ujian, peringkat, serta sederet angka yang disebut “nilai”. Namun, dalam hiruk pikuk mengejar kepandaian itu, ada satu hal penting yang kerap diabaikan: apakah siswa bahagia dalam proses belajarnya? Pertanyaan ini bukan retoris. Kebahagiaan dalam belajar bukan sekadar bonus, melainkan inti dari proses pendidikan yang sejati. Anak-anak yang belajar dengan bahagia akan lebih mudah memahami materi, lebih terbuka pada pengalaman baru, dan lebih mampu membangun hubungan sosial yang sehat. Mereka belajar bukan karena takut dihukum atau ditekan oleh nilai, tetapi karena ingin tahu, karena merasa aman, dan karena merasa dihargai.
Sayangnya, realitas pendidikan saat ini justru sering menjauhkan anak dari rasa bahagia. Tekanan ujian nasional, persaingan masuk sekolah unggulan, beban tugas yang menumpuk, serta ekspektasi orang tua yang berlebihan menjadikan proses belajar terasa berat dan menakutkan. Anak-anak kehilangan rasa ingin tahu alaminya, dan mulai melihat belajar sebagai beban, bukan petualangan. Lebih dari itu, sistem pendidikan yang hanya menghargai hasil dan bukan proses cenderung mengabaikan keunikan setiap individu. Anak yang tidak unggul secara akademik sering dianggap “kurang mampu”, padahal mungkin ia berbakat di bidang lain: seni, olahraga, komunikasi, atau kepemimpinan. Ketika pendidikan tidak memberi ruang bagi kebahagiaan, ia bisa menjadi ladang subur bagi kecemasan, rasa tidak percaya diri, bahkan depresi pada usia yang sangat muda.
Lalu bagaimana seharusnya? Pertama, kita perlu mengubah paradigma bahwa pendidikan adalah perlombaan. Pendidikan seharusnya menjadi ruang tumbuh yang aman dan memanusiakan. Sekolah harus menjadi tempat yang membangun rasa percaya diri, bukan meruntuhkannya. Proses belajar harus menyenangkan, bukan menyakitkan. Guru bukan hanya pemberi tugas, tapi juga fasilitator kebahagiaan belajar. Kedua, kita perlu menyadari bahwa tujuan akhir pendidikan bukanlah mencetak manusia yang hanya cerdas secara kognitif, tapi juga bahagia secara emosional dan matang secara sosial. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang membuat seseorang tetap ingin belajar, bahkan ketika tidak ada nilai yang dipertaruhkan. Ketiga, orang tua dan masyarakat perlu mengubah cara mereka memandang prestasi. Prestasi tidak selalu hadir dalam bentuk piala atau ranking. Kadang, prestasi itu adalah ketika seorang anak yang pemalu mulai berani bicara di depan kelas, atau ketika seorang siswa yang dulu sering gagal mulai menemukan semangat belajarnya kembali. Itu adalah bentuk-bentuk kebahagiaan kecil yang tak boleh disepelekan.
Akhirnya, kita harus kembali pada pertanyaan dasar: untuk apa kita belajar? Bila jawabannya hanya “agar pintar”, maka pendidikan hanya akan melahirkan generasi yang pandai tapi gelisah. Namun bila jawabannya adalah “agar kita hidup lebih bermakna dan bahagia”, maka kita sedang membangun fondasi yang lebih utuh bukan hanya untuk sukses, tapi juga untuk hidup yang berkualitas. Belajar harus membuat hati ringan, bukan sesak. Harus membangkitkan semangat, bukan membuat takut. Karena pendidikan yang berhasil bukan yang membuat murid jadi juara lomba, tapi yang membuat mereka mencintai proses belajar sepanjang hidupnya.