“Analisis Kritis terhadap Perlindungan Hak Anak dalam Proses Cerai Gugat di Peradilan Agama”

Oleh: Zilfa Aurellia, Mahasiswa Hukum UBB

Avatar photo
banner 120x600

BabelMendunia.com, Perceraian selalu menyisakan luka, tetapi yang paling sering terlupakan adalah luka yang dirasakan oleh anak. Dalam setiap proses cerai gugat di peradilan agama, anak seharusnya menjadi perhatian utama. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hak-hak anak justru sering kali terpinggirkan, seolah mereka hanya “pelengkap perkara” dalam dokumen gugatan.

Peraturan memang sudah ada. Pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun Undang-Undang Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap keputusan yang menyangkut mereka. Namun implementasinya belum ideal. Banyak perkara perceraian hanya fokus pada konflik antara suami dan istri mengenai siapa yang bersalah, siapa yang menafkahi, siapa yang menggugat. Lalu di mana suara anak?

Hak asuh anak, misalnya. Meskipun secara hukum anak di bawah usia 12 tahun berada di bawah pengasuhan ibu, dalam praktiknya tak jarang muncul keputusan yang tidak mempertimbangkan kondisi psikologis dan keberlangsungan hidup anak. Bahkan ada putusan yang sekadar mempertimbangkan kemampuan ekonomi orang tua, tanpa menelaah secara lebih dalam siapa yang lebih siap secara emosional dan lingkungan untuk membesarkan anak.

Baca Juga  Peran Digital Entrepreneurship Dalam Pembentukan Identitas Diri Mahasiswa sebagai Penjual di Era Digital

Hal ini diperparah oleh kurangnya kehadiran ahli dalam proses persidangan. Hakim sering kali harus mengambil keputusan penting terkait hak asuh hanya berdasarkan keterangan para pihak, tanpa dukungan pendapat psikolog anak. Padahal, masa depan seorang anak bisa sangat bergantung pada siapa yang merawatnya, bagaimana lingkungan rumah barunya, dan bagaimana ia bisa melanjutkan pendidikan serta tumbuh tanpa trauma berkepanjangan.

Belum lagi soal hak anak untuk tetap bertemu kedua orang tuanya. Dalam banyak kasus, pasca-putusan cerai, anak kehilangan akses ke salah satu orang tuanya karena konflik yang berkepanjangan. Hakim memang bisa memerintahkan pengaturan jadwal kunjungan, tetapi siapa yang memastikan pelaksanaannya? Tidak ada sistem pemantauan yang kuat, sehingga anak kerap menjadi korban “perang dingin” antara orang tua yang sudah bercerai.

Peradilan agama seharusnya tidak hanya menjadi tempat memutus perkara, tetapi juga ruang perlindungan bagi yang paling rentan yaitu anak-anak. Butuh pembaruan cara pandang. Pendekatan yang berpusat pada anak (child-centered approach) harus menjadi prinsip utama dalam setiap perkara cerai gugat. Hakim perlu diberi pelatihan berkala dalam psikologi anak, dan kolaborasi dengan lembaga layanan anak serta psikolog harus menjadi bagian dari prosedur tetap.

Baca Juga  KPK lakukan OTT penyelenggara negara di Balikpapan

Perceraian mungkin tak bisa dihindari, tapi dampaknya bisa diminimalkan. Anak bukan pihak yang menggugat atau tergugat, tapi mereka adalah pihak yang paling terdampak. Sudah saatnya peradilan agama benar-benar memastikan bahwa ketika orang tua berpisah, anak tidak ikut kehilangan hak, kasih sayang, dan masa depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *