Menjadi Anak Kandung di Rumah Besar Muhammadiyah

Oleh: Arnold, Kader IMM Bangka Belitung

Avatar photo
banner 120x600

BabelMendunia.com, Dalam sejarah panjang gerakan Islam berkemajuan, ortom (organisasi otonom) Muhammadiyah lahir bukan sebagai beban, apalagi pelengkap administratif. Kami lahir dari rahim yang sama—ideologis, spiritual, dan historis—yakni Muhammadiyah itu sendiri. Maka menyebut kami anak kandung bukanlah metafora yang berlebihan. Itu realitas.

Namun dalam dinamika mutakhir, seringkali kami, para ortom, merasakan ketimpangan perlakuan. Ada ortom yang diberi panggung lebih luas, diberi akses lebih besar, diberi label “andalan”, sementara ortom lain harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan ruang bicara. Padahal, tidak ada anak kandung yang seharusnya diperlakukan berbeda hanya karena ia memiliki karakter atau pendekatan yang lain.

Muhammadiyah adalah rumah besar, dan kami semua—IPM, IMM, NA, HW, Tapak Suci, dan lainnya—adalah penghuninya. Tak satu pun dari kami hadir dari luar pagar. Maka, jika rumah ini benar-benar ingin kokoh, semua pilar anak-anaknya harus dikuatkan secara adil dan setara. Jangan sampai semangat kolaborasi berubah menjadi kompetisi yang tak sehat karena perbedaan perlakuan dari “orang tua” sendiri.

Keadilan dalam keluarga besar ini bukan hanya soal anggaran atau panggung acara, tapi juga soal pengakuan peran dan kontribusi. IMM yang aktif dalam gerakan intelektual, IPM yang menyemai kepemimpinan pelajar, NA dengan dakwah perempuan mudanya, Tapak Suci dengan pembinaan akhlak lewat seni bela diri, HW dengan kepanduan dan karakter—semuanya punya tempat yang sah di hati Muhammadiyah.

Jika Muhammadiyah ingin memastikan masa depannya tetap berkemajuan, maka ia harus mencintai semua anaknya dengan kadar yang sama. Karena sejatinya, jika satu anak saja merasa ditinggalkan, maka yang terluka bukan hanya si anak—tapi juga nama besar orang tuanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *