BabelMendunia.com, Bangka Belitung dikenal sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia. Sayangnya, kekayaan ini dibayangi oleh maraknya tambang timah ilegal yang merusak alam dan menghancurkan kehidupan masyarakat kecil. Aktivitas ilegal ini sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa kendali. Salah satu kasus yang mencuat terjadi pada awal 2023, saat aparat menertibkan ratusan tambang ilegal di perairan Matras, Sungailiat. Meski sempat ditertibkan, praktik serupa tetap muncul kembali.
Tambang ilegal tidak hanya merusak ekosistem—seperti mencemari laut, merusak terumbu karang, dan mengganggu habitat satwa—tetapi juga menimbulkan dampak sosial. Nelayan kehilangan penghasilan karena laut menjadi keruh. Lahan produktif berubah menjadi lubang tambang. Perselisihan lahan meningkat, dan ketimpangan ekonomi makin terasa.
Yang lebih memprihatinkan, tambang ilegal juga memicu konflik antara manusia dan buaya karena habitat satwa terganggu. Lebih jauh lagi, banyak anak-anak terpaksa bekerja di tambang demi uang cepat. Ini mendorong angka putus sekolah di Bangka Belitung mencapai 3,5% pada 2020–2021—jauh di atas rata-rata nasional. Penjabat Gubernur saat itu, Ridwan Djamaluddin, bahkan menyebut tambang ilegal sebagai penyebab utamanya.
Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan penertiban. Diperlukan solusi bijak dan menyeluruh: legalisasi tambang rakyat dengan aturan ketat, reklamasi lahan bekas tambang, pemberdayaan ekonomi alternatif, serta penguatan pendidikan bagi anak dan remaja.
Bangka Belitung perlu bangkit dengan cara yang lebih adil dan berkelanjutan. Jangan sampai kekayaan alam hari ini menjadi malapetaka di masa depan. Inilah saatnya negeri Serumpun Sebalai memilih: terus merusak, atau menambang dengan bijak demi generasi yang akan datang.
Sebagai generasi intelektual muda, mahasiswa memiliki peran penting untuk menyuarakan dan mendorong solusi nyata yang bisa dijalankan langsung di tengah masyarakat. Dengan pendekatan sederhana dan partisipatif, beberapa solusi yang dapat dilakukan antara lain:
Mahasiswa bisa melakukan penyuluhan langsung ke desa-desa sekitar tambang ilegal. Edukasi ini bisa berupa diskusi santai tentang dampak tambang terhadap kesehatan, air bersih, atau hasil laut. Misalnya, di Desa Rebo, mahasiswa pernah mengadakan sosialisasi bersama ibu-ibu rumah tangga mengenai pentingnya menjaga hutan mangrove yang rusak akibat tambang.
Salah satu solusi untuk mengatasi tambang ilegal adalahmendorong transparansi dan pelibatan masyarakat dalamproses perizinan dan pengawasan. Selama ini, warga seringtidak tahu siapa yang mengelola tambang di wilayah mereka. Dengan membuka akses informasi dan membentuktim pemantau tambang berbasis warga, pengawasan bisalebih kuat dan potensi penyalahgunaan izin dapat dicegahsejak awal.
Aksi gotong royong seperti membersihkan bekas lubangtambang dan menanam pohon secara simbolis bisa menjadiawal membangun kesadaran kolektif. Di Kelurahan Tua Tunu, mahasiswa pernah menggandeng warga dan pelajarmenanam bibit pohon sengon dan durian di bekas tambangyang terbengkalai.
Mahasiswa bisa bekerja sama dengan UMKM atau koperasidesa untuk membuat pelatihan sederhana seperti membuatkeripik ikan, sabun dari minyak jelantah, atau pupukorganik dari sampah dapur. Contohnya, di KabupatenBangka Barat, pelatihan membuat olahan ikan asin berhasilmembantu beberapa nelayan menambah penghasilan tanpaharus menambang.
Mahasiswa dari jurusan pendidikan bisa membuat kegiatanbelajar sore atau kelas kreativitas di desa dengan angkaputus sekolah tinggi. Di Desa Riding Panjang, misalnya, mahasiswa KKN sempat mengadakan kelas seni dan kerajinan tangan yang melibatkan anak-anak yang sudahberhenti sekolah.