BabelMendunia.com, Pertambangan timah merupakan salah satu sektor yang signifikan dalam memberikan kontribusi devisa bagi negara serta pendapatan ekonomi bagi masyarakat. Hal ini baik untuk kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan besar seperti PT Timah maupun masyarakat lokal. Namun, sering kali aktivitas pertambangan ini tidak dikelola dengan bijak sehingga menimbulkan konflik antara kedua belah pihak, terutama ketika kegiatan tersebut menjangkau wilayah tangkap nelayan, pantai, serta kawasan pertanian dan perkebunan masyarakat.
Dapat kita ambil salah satu contoh yang sudah terjadi di kepulauan Bangka Belitung atau yang dikenal dengan sebutan pulau 271 T. Kasus ini dialami oleh desa di Batu Beriga yang menjadi contoh nyata pertambangan timah dilaut. Karena, dapat kita ketahui bahwa perairan desa batu beriga ini salah satu kawasan yang masih terjaga kelestariannya, berdasarkan riset yang dilakukan oleh WALHI Kep. Bangka Belitung, bahwa dari 6 kategori kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi (NKT), empat kategori NKT dimiliki oleh perairan batu beriga. Selain itu, perairan desa batu beriga menjadi rumah bagi keanekaragaman biota laut seperti: penyu hijau, nautilus, dugong, hiu pari, Ikan napoleon, lumba-lumba hidung botol, kima serta pari manta. Adanya rencana aktivitas pertambangan di kawasan tersebut akan berdampak tidak hanya bagi masyarakat lokal dan adat istiadatnya, tetapi juga akan mengancam keberlanjutan ekosistem laut yang ada di kawasan tersebut.
Maka dari itu dengan adanya pertambangan timah di perairan laut batu beriga ini justru memicu gesekan sosial antara perusahaan resmi PT timah dengan warga lokal, karena warga lokal yang berperan sebagai nelayan yang menjadi faktor penting dalam mata pencahariannya, mereka sangat menggantungkan ekonomi dari hasil laut, tetapi disisi lainnya PT timah juga bergantung pada pertambang karena untuk memproduksi dan mengekspor bagi kepentingan negara dan juga sama seperti warga lokal yaitu salah satu penghasilan mereka dari pertambangan ini. Akan tetapi ketika laut tercemar, terumbu rusak, dan hasil tangkapan berkurang, nelayan pun merasa dirugikan.
Maka, dalam situasi seperti inilah, peran mahasiswa sebagai kaum intelektual dan agen perubahan sangat dinantikan. Mahasiswa bukan hanya pihak luar yang netral, tapi juga pihak yang bisa menawarkan solusi ilmiah, dialog yang adil, dan pendekatan sosial yang damai. Mahasiswa dapat menjadi penengah dan beberapa solusi yang dapat disuarakan oleh mahasiswa:
1. Pertama-tama, dengan keadaan emosional dari kedua belah pihak yang masih memanas maka, maka mahasiswa perlu meredamkan kondisi serta menumbuhkan rasa saling menghargai, saling percaya dan saling mendengarkan bagi kedua belah pihak ketika masing-masing mengeluarkan aspirasi
2. Kedua, mahasiswa memberi ruang bicara kepada kedua belah pihak untuk menyampaikan aspirasi yang ingin mereka suarakan, karena dengan ini, sesama kedua belah pihak dapat saling mendengarkan permasalahan mereka dan dengan ini pihak PT timah dapat mempertimbangkan kembali dampak pertambangan yang mereka lakukan terhadap ekosistem laut dan Masyarakat lokal
3. Ketiga, mahasiswa dapat mengajak kedua belah pihak untuk terlibat langsung di lapangan dalam rangka mengumpulkan data sosial yang mencakup aspek ekonomi maupun lingkungan. Dari data yang diperoleh, dapat disusun rekomendasi yang adil dan solutif, seperti menentukan daerah yang dapat ditambang, wilayah laut yang perlu dilindungi, serta pola hidup berkelanjutan yang dapat diterapkan secara bersama..
4. Keempat, mahasiswa dapat memberikan edukasi kepada kedua belah pihak, bahwa jika melakukan pertambangan dapat mengenai dampak dengan jangka yang begitu panjang jika nanti pertambangan tidak dilakukan lagi secara berkelanjutan.
5. Kelima, mahasiswa dapat menyampaikan penegakan hukum,agar pertambangan tidak dapat dilakukan sembarangan, apalagi tempat-tempang yang sangat dilindungi.
6. Keenam, mahasiswa juga dapat menjalin kerja sama dengan akademisi, pemerintah daerah, LSM, dan tokoh adat setempat untuk merumuskan solusi jangka panjang. Pendekatan ini menempatkan kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan secara seimbang, tanpa harus mengorbankan salah satu pihak.
Sudah waktunya mahasiswa tidak hanya menjadi penonton di tengah konflik sosial dan lingkungan. Karena dengan kehadiran mahasiswa justru dibutuhkan sebagai penengah, penyambung lidah rakyat, dan penjaga harmoni antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian alam. Jika ini dilakukan dengan komitmen dan kejujuran, bukan tidak mungkin kedamaian bisa kembali terwujud dan tidak menimbudi wilayah-wilayah rawan konflik seperti Batu Beriga dan sekitarnya.